Bab 16
Bab 16
Bab 16 Margamu Willardi Bukan Martha
Sebelum Vivin bisa bereaksi, dia mendengar teriakan kaget. Dan ketika dia mengangkat kepala, Emi telah bergegas mendekat.
Emi adalah istri ayahnya dan ibu Alin. Namun, dia bukan ibu kandung Vivin.
Sementara Ibu kandung Vivin masih terbaring di rumah sakit, bertahan hidup dengan obat-
obatan.
Emi dengan cepat membantu Alin bangkit dari lantai. Fabian juga bergegas. Ketika dia melihat kondisinya yang menyedihkan dan matanya yang memerah, tatapannya segera terbakar amarah. “Vivin, apa yang kau lakukan?”
Vivin bukan seperti Alin yang terlihat rapuh. Meski basah kuyup terguyur anggur merah, dia langsung membantah dan mempertahankan keras kepalanya. “Ucapannya membuatku kesal, jadi aku tidak sengaja mendorongnya. Aku minta maaf.”
“Tidak sengaja?” Suara emi malambung bersamaan dengan tatapannya yang tajam dan kesal. “Apa maksudmu tidak sengaja? Jelas-jelas kau sengaja! Kau pasti iri, karena Alin bisa menikah dengan orang hebat. Kau pasti ingin mencelakainya sebelum dia resmi menikah! Kenapa Alin punya Kakak sekejam ini?
“Tante Emi, kau berpikir terlalu jauh. Kenapa aku harus cemburu dengannya?”
“Kau sudah cemburu dengannya sejak muda. Kau tidak sadar!” Suara Emi menjadi lebih tajam. “Kau tak mau mengakui kesalahanmu! Anak sama Ibu tidak ada bedanya! Kau sama seperti ibumu, penggoda yang tak tahu malu!
Vivin benar-benar marah.
“Tante!” Nada suaranya menjadi dingin. “Ku peringatkan kau. Jika kau menghinaku, aku membiarkannya karena kau lebih tua dariku. Tapi, jika kau menghina ibuku, aku takkan sudi sopan santun kepadamu!”
Mata merah Vivin membuat Emi takut. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menatap Haris, yang ada di sampingnya.
Haris menatap Vivin dengan tatapan musuh. Lalu menegurnya dengan marah, “Vivin! Apa yang kau katakan? Minta maaf sekarang juga!” Exclusive content from NôvelDrama.Org.
Tubuh Vivin bergidik karena marah. Rasanya dia ingin mengomel ketika Fabian mencibirnya dingin, “Tuan Martha, sepertinya Anda harus segera menyelesaikan masalah rumah tangga ini. Dia hanyalah anak haram, namun dia berani membentak dan melawan keluarga yang sebenarnya? Di mana tata krama di rumah ini?”
Namun Vivin hanya bisa terpaku sembari menatap Fabian tak percaya.
Tatapan mereka saling bertemu. Namun, matanya dipenuhi dengan penghinaan.
Awalnya, dia kira Vivin tidak seperti ibunya, seorang simpanan. Namun, ternyata mereka sama-sama tidak tahu malu!
Tanggapan Fabian dengan kata-kata yang mengerikan itu bukanlah untuk membela Alin. Namun, kebutaan dan kebodohannya di masa lalulah yang membuatnya menggila.
“Saya minta maaf, Anda harus menyaksikan ini, Tuan Normando.”
Saat itu Vivin yang tercenung seketika kembali sadar. Dia melemparkan tatapan tajam pada Haris, “Ayah, apa yang kau bicarakan? Orang lain tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, tapi jelas-jelas kau tahu! Saat itu. Ibu…..”
Ucapannya belum selesai, namun Haris segera memelototinya balik sembari berteriak, “Vivin, diam! Ingat nama margamu itu Willardi, bukan Martha. Jadi, jangan bertindak terlalu tinggi dan perkasa di Kediaman Martha!
Margamu itu Willardi, bukan Martha.
Kata-kata Haris seperti belati tajam bagi Vivin, mencabik-cabik hatinya hingga terasa amat sakit dan meninggalkan luka yang dalam.
Semua kata-kata pembelaannya menjadi tidak berdaya.
Dia sadar, semuanya kini tidak ada artinya lagi.
Ketika melihat bagaimana tiga orang di hadapannya menikamnya dengan tatapan tajam dan hinaan.
Mereka adalah sebuah keluarga. Mereka saling mencintai dan memiliki musuh yang sama.Sejak awal, aku hanyalah orang asing bagi mereka. Kenapa aku masih di sini dan mempermalukan diriku sendiri?
“Maaf,” Vivin meminta maaf dengan acuh. “Karena aku, kalian semua tidak bahagia, aku akan pergi dari sini. Aku hanya akan merusak suasana hati kalian.”
Seketika itu dia melangkah pergi, tanpa melirik ke satupun dari mereka.
Ketika melewati Alin, dia melihat kesombongan di wajahnya, seolah-olah dia telah memenangkan pertandingan.
“Hei, Adikku.” Vivin menghentikan langkahnya. Hampir tidak pernah ia memanggil Alin sebagai adiknya. “Doa terbaikku untuk kau dan Fabian. Semoga pertunangan ini diberkati dan kau bahagia selamanya.”
Setelah kalimat terakhirnya, dia pergi tanpa ragu.
Ketika dia meninggalkan area Perumahan Martha, ternyata hari sudah malam.
Kediaman Martha sama seperti vila Finno. Tidak ada taksi atau halte bus. Karenanya, Vivin hanya bisa menggunakan aplikasi pemanggil taksi yang ada di ponselnya. Ketika mengeluarkan ponselnya, tiba- tiba ada panggilan masuk.
Panggilan itu dari Finno, Vivin tertegun sejenak, sebelum akhirnya dia menjawabnya.
“Halo?”
“Halo, ini aku.” Suara lembut Finno terdengar dari ujung telepon. “Apa kau sedang makan di tempat ayahmu?”
Karena beberapa alasan, dia tiba-tiba ingin menangis ketika mendengar suara Finno.