Bab 200
Bab 200
Bab 200
Setelah Samara meninggalkan kediaman Sutanto, langsung merasa lega.
Bagaimanpun juga…
Dia telah menyelamatkan nyawa Widopo.
Dilihat dari hutang nyawa, orang gila ini seharusnya tidak akan mengganggunya lagi, kan?
Sesampai di rumah.
Samara melihat ketiga bocah sedang duduk rapi menunggunya pulang dan makan.
“Saya pulang.”
Javier masuk ke dapur menghidangkan makanan, Oliver mengambilkan kotak obatnya, Olivia membawakan sandal rumah beruang,
Samara memakai sandal yang hangat itu lalu datang ke ruang makan, melihat di meja terdapat hidangan-hidangan yang hangat.
“Kalian menunggu saya sampai sekarang?”
Karena Samara tertidur di kediaman Sutanto, sampai rumah sudah pukul setengah delapan, tidak menyangka ketiga bocah ini menunggunya, belum makan sedikitpun.
“Saya menyuruh mereka makan dulu.” Javier menggaruk kepalanya pusing, “Tidak kusangka mereka mau ikut menunggu Ibu.”
Oliver mengangkat dagu, tidak mau kalah, “Saya dan Olivia masih belum lapar…”
Tak disangka—
Baru saja Oliver berkata, terdengar suara perut Olivia berbunyi.
Baru saja ingin mengomeli adiknya yang bersikap mengecewakan,
perutnya juga berbunyi.
“Ckckck…” Javier mendecak, “Sudah kukatakan kalian makan dulu, kan?”
Samara mencolek perut Javier, tersenyum simpul.
“Javier, kamu tidak lapar?”
“Saya tentu saja tidak lapar.”
Javier hanya kegirangan beberapa detik saja, perutnya juga ikut berbunyi.
Ketiga bocah saling berpandangan, dengan malu-malu memegang perut masing-masing.
Samara terharu dengan tingkah laku ketiga bocah ini.
Malaikat kecil dari mana ini?
Mereka menahan lapar hanya demi menunggunya pulang.
“Maaf sekali…saya telat pulang.” Samara mengelus kepala ketiga bocah itu, dengan nada maaf, “Hari ini terjadi sedikit masalah saat mengobati pasien, lain kali saya akan berusaha untuk menghindari keadaan seperti ini.”
Ketiga bocah mengangguk-angguk kepala.
Empat orang sudah hadir, mereka mulai makan.
Ketiga bocah benar-benar kelaparan, memakan hidangan dengan lahap.
Samara makan sambil melihat cara makan ketiga bocah itu, matanya terpancar rasa sayang yang tidak dapat disembunyikan.
Padahal ini bukan pertama kalinya, tapi dia tidak pernah bosan melihat.
Setelah selesai makan.
Samara menonton televisi di ruang tamu.
Saal menonton, Olivia menyerahkan ponsel kepadanya.
“Ayah…”
Samara menerima ponsel itu dan mendengarnya.
“Halo—”
“Sedang apa?” Dari seberang telepon terdengar suara Asta yang berat dan memikat.
“Sedang menonton televisi.”
“Tidak menanyakan saya sedang apa?”
“Oh…kamu sedang apa?”
“Memikirkanmu.” Ucapan Asta terhenti, lalu lanjutnya, “Memikirkanmu apakah kamu juga merindukanku seperti saya merindukanmu.”
Dipisah oleh telepon, Samara membayangkan mata pria itu penuh dengan cinta tak terbatas.
Tidak tahu mengapa…
Hatinya berdetak cepat.
Isi hati Samara berbeda dengan yang diucapkannya: “Jika kamu . mengatakan hal seperti ini lagi… percaya tidak, saya akan menutup sambungan ini.”
“Baik, tidak kukatakan lagi.” Asta berkata dengan suara berat, “Samara, selamat malam.”
Samara memutuskan sambungan telepon, tapi jantungnya masih berdetak sangat cepat. This content © Nôv/elDr(a)m/a.Org.
Olivia memiringkan kepalanya, bertanya lembut: “Telingamu…merah sekali…”
**Terlalu panas.”
Samara mengipas-ngipas lalu berlari keluar teras.
Membuka jendela, angin malam menerpa wajahnya, meniup pergi rasa panas di wajahnya, juga meniup pergi kegalauan hatinya.
Apakah dia benar-benar terjerumus?
Tidak
Dia pasti tidak.
Samara diterpa angin malam sekian lama, setelah berhasil menenangkan diri, dia kembali ke kamar tidur.
Javier mengetuk pintu, dipelukannya terdapat sebuah tablet, dia membuka pintu dan berjalan masuk.
“Ibu…”
“Javier, ada apa mencariku?”
“Saya perlihatkan padamu sebuah hastag.”
Javier menghidupkan komputer tablet lalu menyerahkannya pada Samara.
Yang terlihat olehnya berupa tagar yang tak terhitung jumlahnya tentang Samantha.
Samanthawanitapemainkecapi
Samanthatradisionalnomorsatu
Samanthagadishartakarun